Parid Abdulloh, M.Pd.
Manusia dan Struktur Kepribadiannya
A. Hakikat Manusia Menurut Al-Qur`an
Menurut Nawawi (2000) untuk memahami secara mendasar tentang penyebutan manusia pada umumnya ada tiga kata yang sering digunakan Al-Qur’an untuk merujuk kepada arti manusia, yaitu insan atau ins atau al-nas atau unas, dan kata basyar serta kata bani adam atau dzurriyat adam.
Makna manusia dalam al-Qur’an dengan istilah al-basyar, al-insan, al-nas dan bani adam mencerminkan karakteristik dan kesempurnaan penciptaan manusia, bukan saja sebagai makhluk biologis dan psikologis melainkan juga sebagai makhluk religius, makhluk sosial, makhluk bermoral serta makhluk kultural yang kesemuanya mencerminkan kelebihan dan keistimewaan manusia daripada makhluk-makhluk Tuhan lainnya.
Islam memandang bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang memiliki keunikan, karakteristik, dan keistimewaan tertentu yang tidak dimiliki oleh makhluk lain dengan bentuk raga sebaik-baiknya Q.S (95:4), rupa yang seindah-indahnya Q.S (64:3) yang dilengkapi dengan berbagai organ psikofisik yang istemewa pula, seperti pancaindera dan hati Q.S (16:78).
Amien Wahyudi. Buku Ajar:Bimbingan dan Konseling Islam, Yogyakarta: Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Ahmad Dahlan.
B. Struktur Kepribadian dan Cara Kerjanya Menurut Psikologi Islami
Struktur kepribadian merupakan suatu komponen yang ada dalam setiap diri manusia yang menetap pada pola perkembangannya dan tidak berubah, tapi secara aktual akan berubah sesuai dengan lingkungan yang mempengaruhinya.
Dalam pandangan Islam, struktur kepribadian manusia terdiri dari beberapa elemen yang saling berinteraksi dan memengaruhi perilaku, moral, serta spiritualitas seseorang. Berikut adalah tiga elemen utama yang membentuk struktur kepribadian menurut Islam:
Ruh adalah unsur spiritual yang ditiupkan oleh Allah ke dalam manusia, dan merupakan esensi tertinggi dalam diri manusia (QS. Al-Hijr [15]: 29). Ruh menjadi sumber dorongan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjalani kehidupan dengan moralitas yang tinggi. Secara alami, ruh mendorong manusia untuk mencari kebenaran, kebajikan, dan makna hidup yang lebih dalam.
Nafs adalah aspek dalam diri manusia yang berhubungan dengan keinginan, emosi, dan dorongan naluriah. Dalam Al-Qur'an, nafs memiliki beberapa tingkatan yang mencerminkan kondisi moral seseorang:
Nafs Ammarah: Tingkatan ini adalah nafs yang cenderung kepada keburukan dan dosa. Ini menggambarkan dorongan manusia yang belum dikendalikan oleh kesadaran moral dan spiritual (QS. Yusuf [12]: 53).
Nafs Lawwamah: Pada tingkat ini, jiwa mulai memiliki kesadaran moral yang menyesali perbuatan dosa. Seseorang di tingkatan ini mulai introspeksi dan mengkritik dirinya atas kesalahan yang diperbuat (QS. Al-Qiyamah [75]: 2).
Nafs Muthmainnah: Tingkatan tertinggi dari nafs di mana jiwa berada dalam ketenangan dan kedamaian. Orang yang mencapai nafs muthmainnah telah mencapai keseimbangan antara keinginan duniawi dan kehidupan spiritualnya (QS. Al-Fajr [89]: 27-30).
Qalb atau hati merupakan pusat kesadaran dan perasaan yang memengaruhi keputusan moral dan perilaku seseorang. Qalb dalam Islam memiliki peran penting dalam menentukan apakah seseorang akan cenderung kepada kebaikan atau keburukan. Kondisi qalb bisa "bersih" atau "berpenyakit", tergantung pada sejauh mana seseorang mendekatkan dirinya kepada Allah. Qalb yang "bersih" memudahkan seseorang untuk menerima petunjuk Allah, sementara qalb yang "berpenyakit" cenderung mengarahkan pada kesalahan dan dosa (QS. Al-Baqarah [2]: 10).
Hubungan Antara Ruh, Nafs, dan Qalb
Kepribadian manusia dalam Islam berfungsi melalui interaksi antara ruh, nafs, dan qalb. Ruh mengarahkan manusia pada jalan spiritual yang benar. Nafs, di sisi lain, adalah sumber dorongan dan keinginan yang harus dikendalikan oleh qalb dan ruh. Qalb bertindak sebagai jembatan antara nafs dan ruh, berperan dalam menilai tindakan dan keputusan moral seseorang. Ketika qalb bersih dan selaras dengan ruh, maka perilaku seseorang akan cenderung kepada kebaikan dan ketakwaan.
Avicenna atau yang lebih dikenal di kalangan pemikir Muslim dengan sebutan Ibn Sina merupakan salah satu filosof dan psikolog yang dalam karyanya banyak membahas tentang perilaku menjelaskan struktur kepribadian yang ada pada diri manusia. Ia menguraikan bahwa dalam diri manusia terdapat daya pendorong yang memicu lahirnya perilaku, yakni, nafs nabati, nafs hewani, dan nafs Insani.
Konsep bimbingan konseling Islami seyogyanya mengarahkan tujuan dari praktik konseling yang dilakukan pada pengembangan dan pemenuhan kebutuhan dimensi manusia, yakni dimensi yang bersifat material maupun bersifat spiritual. Karena apabila dianalisis kembali, mengenai struktur kepribadian yang telah di uraikan di atas (nafs nabati, nafs hayawani, nafs insani), maka setidaknya manusia memiliki dua unsur pokok, yaitu jasmani (material) dan rohani (spiritual). Pemenuhan kebutuhan jasmani berarti konseling hanya bergerak pada wilayah nafs nabati dan sebagian kecil dari nafs insani, akan tetapi merupakan pemenuhan kebutuhan nafs hayawani dan nafs insani, yang cakupan pembahasannya sangat luas. Seperti yang disampaikan oleh Al Ghazali, bahwa kebutuhan rohani hanya bisa dilakukan dengan cara pendekatan-pendekatan yang mampu mengarahkan seseorang untuk memahami hakikat diri sebaik-baiknya, melalui praktik-praktik spiritualitas keagamaan. Berzikir, sholat, zakat, puasa, berdoa memohon petunjuk Allah merupakan salah satu teknik yang bersifat batiniyyah yang dapat dijadikan salah satu cara untuk mengahantarkan indvidu memahami batin.
Referensi:
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Kitab al-Ruh.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah.